Kamis, 02 Juli 2009

Potongan DNA, simpanse dan manusia: memberi perbedaan antara genome manusia dan simpanse.

Para peneliti telah menemukan daerah yang terduplikasi atau hilang pada evolusi manusia dan simpanse. (Credit: iStockphoto/Peter-John Freeman)
ScienceDaily (Nov. 6, 2008) — Para peneliti telah melakukan studi terbesar dalam menemukan perbedaan antara genome manusia dan simpanse, menentukan daerah-daerah yang terduplikasi atau hilang selama evolusi dari dua garis keturunan. Studi ini, diterbitkan dalam Genome Research, adalah yang pertama dalam membandingkan genome simpanse dalam cara yang sama.
Tim ini menunjukkan kalau tipe gen tertentu – seperti yang terlibat dalam respon pendarahan dan pengendalian proliferasi sel – paling terlibat dalam pendapatan dan kehilangan. Mereka juga memberikan bukti baru atas gen yang berkaitan dengan daya tahan terhadap infeksi HIV.
“Ini adalah studi pertama dalam skala ini, membandingkan langsung genome dari banyak manusia dan simpanse,” kata Dr Richard Redon, dari Wellcome Trust Sanger Institute, penulis utama studi ini. “Dengan melihat pada salah satu barisan referensi manusia atau simpanse, seperti yang telah dilakukan sebelumnya, tidaklah mungkin mengetahui perbedaan mana yang terjadi pada simpanse individual atau manusia dan mana yang merupakan perbedaan antara spesies. Ini adalah pandangan pertama kita pada dua kerajaan besar evolusi itu.”
Ketimbang memeriksa perbedaan huruf tunggal dalam genom (SNP), para peneliti melihat pada variasi jumlah salinan (CNV) – dapat atau lenyapnya daerah DNA. CNV dapat mempengaruhi banyak gen sekaligus dan manfaatnya telah ditunjukkan dalam dua tahun terakhir. Tim ini melihat pada genome 30 simpanse dan 30 manusia: sebuah perbandingan langsung pada skala ini atau tipe ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Perbandingan mengungkap CNV yang ada pada kedua spesies dan perbedaan jumlah salinan (CND) antara kedua spesies. CND sepertinya melibatkan gen yang mempengaruhi evolusi masing-masing spesies semenjak manusia dan simpanse terpisah sekitar 6 juta tahun lalu.
“Secara luas, kedua genome memiliki pola dan tingkat CNV yang sama – sekitar 70-80 pada tiap individu – dimana hamper separuhnya ada di daerah yang sama dari genome kedua spesies,” lanjut Dr Redon. "Namun diluar kesamaan itu kami mampu menemukan bukti mengesankan dari set kunci gen yang berbeda antara kita dan kerabat terdekat kita.”
Salah satu gen yang dipengaruhi oleh CNV adalah CCL3L1, dimana jumlah salinan lebih sedikit pada manusia berkaitan dengan peningkatan ketahanan infeksi HIV. Studi 60 genom manusia dan simpanse ini tidak menemukan bukti CND tetap antara manusia dan simpanse dan tidak ada CNV pada simpanse. Tapi, mereka menemukan kalau sebuah gen dekat bernama TBC1D3 berkurang jumlahnya pada simpanse dibanding manusia: ada 8 salinan pada manusia, tapi hanya satu pada semua simpanse.
Penulis menyarankan kalau mungkin seleksi evolusioner CND dalam TBC1D3 yang telah membawa perbedaan populasi. Konsisten dengan pengamatan terbaru, TBC1D3 terlibat dalam proliferasi sel (kategori membantu) dan adalah daerah inti dari duplikasi – sebuah titik focus untuk daerah besar duplikasi pada genome manusia.
“Adalah terbukti kalau telah ada perubahan muatan gen antara manusia dansimpanse, dan sebagian perubahan ini dapat dihasilkan dari tekanan seleksi khusus,” jelas Dr George Perry dari Arizona State University dan Brigham serta Women's Hospital, penulis utama lain dari studi ini. “Sebagai contoh, sejumlah besar gen secara mengejutkan terlibat dalam respon pendarahan - APOL1, APOL4, CARD18, IL1F7, IL1F8 – sepenuhnya terhapus dalam genome simpanse. Pada manusia, APOL1 terlibat dalam daya tahan pada parasit yang mengakibatkan penyakit tidur, sementara IL1F7 dan CARD18 berperan pada pengaturan pendarahan: maka, harus ada pengaturan lain dari proses ini pada simpanse.
“Kita telah tahu kalau inaktivasi gen system kekebalan pada genom manusia diseleksi secara positif: sekarang kita punya contoh hal yang sama pada simpanse.”
CNV pada manusia dan simpanse sering muncul dalam lokasi genomic yang sama: sebagian besar berada dalam daerah genom, yang di sebut duplikasi segmental, yang rapuh. Walaubegitu, satu dalam empat dari 355 CND yang ditemukan tim tidak bertindihan dengan CNV pada spesies – menunjukkan kalau mereka varian yang tetap pada masing-masing spesies dan menjadi penanda perbedaan yang jelas antara genome manusia dan simpanse.
Sample DNA dan analisisnya
Proyek ini memakai sample DNA dari 30 simpanse (29 dari afrika barat dan satu dari afrika timur): referensi simpanse dibuat memakai DNA dari Clint, simpanse yang DNAnya dipakai untuk pembarisan genom.
sample DNA manusia diperoleh dari partisipan berikut: sepuluh Yoruba (Ibadan, Nigeria), sepuluh suku pemburu pengumpul hutan hujan Biaka (Republik Afrika Tengah) dan sepuluh pemburu pengumpul hutan hujan Mbuti (Repulbik demokratik Kongo). Referensi manusia adalah pria eropa amerika dari proyek HapMap (NA10852).
CNV dan CND dideteksi memakai jejak ubin seluruh genom dari klon DNA yang merentangkan genom manusia yang sebelumnya dipakai untuk memetakan CNV manusia: platform ini dapat mengungkapkan varian struktur lebih dari 10 ribu pasangan basa.
Karya ini didanai oleh Wellcome Trust, LSB Leakey Foundation, Wenner-Gren Foundation for Anthropological Research, National Institutes of Health, University of Louisiana at Lafayette-New Iberia Research Center dan Howard Hughes Medical Institute.
Para penulis berterima kasih pada Human Genome Diversity Project, Coriell Institute for Medical Research, Integrated Primate Biomaterials and Information Resource, New Iberia Research Center, dan Primate Foundation of Arizona atas sampelnya.
Referensi jurnal:
1. The Chimpanzee Sequencing and Analysis Consortium. Initial sequence of the chimpanzee genome and comparison with the human genome. Nature, 2005; 437 (7055): 69 DOI: 10.1038/nature04072
2. Perry et al. Copy number variation and evolution in humans and chimpanzees. Genome Research, 2008; 18 (11): 1698 DOI: 10.1101/gr.082016.108

Sekali Lagi, Apa yang Disebut sebagai ‘DNA Sampah’ Ternyata Mempunyai Fungsi

‘DNA Sampah’ adalah salah satu mitos yang ditebarkan oleh pengikut Darwin dalam literatur biologi. Istilah tersebut mengacu kepada bagian dari DNA yang dianggap tidak mempunyai fungsi sama sekali. Evolusionis menggunakan anggapan ini untuk mendukung pandangan keliru mereka bahwa manusia dan makhluk hidup yang lain adalah hasil dari proses evolusi yang buta dan kebetulan.

Namun, penelitian pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa istilah ‘DNA Sampah’ adalah sangat menyesatkan. Fungsi-fungsi penting dari bagian yang disebut ‘sampah’ dari DNA ini telah ditemukan sehingga konsep ‘DNA Sampah’ hanya menunjukkan perwujudan dari ketidakpedulian.

Pukulan pada mitos ‘DNA Sampah’ datang baru-baru saja dari sebuah penelitian tentang protein yang mengandung cohesin. Dalam Science Daily, pada sebuah artikel bertajuk “Essential Cell Division 'Zipper'Anchors To So-Called Junk DNA” (Protein penting dalam pembelahan sel berikatan dengan apa yang disebut sebagai ‘DNA Sampah’), dilaporkan hal berikut ini:

Dalam sebuah penelitian baru pada Nature edisi 29 Agustus, peneliti pada Ehe Wistar Institute mengidentifikasi sebuah kompleks protein yang mengandung cohesin yang mengubah bentuk chromatin agar cohesin dapat menempel pada DNA. Mereka juga mengidentifikasi lokasi penempelan cohesin pada genom manusia. Tanpa mereka sangka, tempat penempelan itu adalah sekuen DNA berulang yang ditemukan tersebar di dalam genom manusia yang sebelumnya belum diketahui fungsinya. Sekuen DNA ini, dikenal sebagai sekuen berulang Alu, dapat ditemukan hampir di setiap tempat pada sekuen panjang dari genom manusia yang tidak diketahui mengontrol fungsi genetik secara langsung. Karena tanpa fungsi genetik yang jelas itulah ia disebut ‘DNA Sampah’.

“Satu hal yang menarik bagi kami adalah ada 500 ribu hingga 1 juta sekuen berulang Alu di dalam genom manusia, “ kata Ramin Shiekhattar, Ph.D., seorang professor pada The Wistar Institute dan penulis senior pada penelitian itu. “Sekuen ini sangat biasa ditemui, dan sangat masuk akal jika salah satu fungsinya adalah menjadi tempat penempelan dari protein pengikat, cohesin, agar DNA yang sedang digandakan tetap bersatu hingga saatnya dipisahkan. Tempat pengikatan yang banyak tentunya diperlukan agar sistem seperti ini bekerja. Tempat itu tidak mungkin sekuen yang unik.”1

Konsep ‘DNA Sampah’ sangat mirip dengan konsep ‘organ peninggalan’, argumentasi basi yang diajukan oleh pengikut Darwin lebih dari seabad yang lalu. Konsep itu sebenarnya merupakan cerita yang menarik: sebagaimana kata para evolusionis, ada di dalam tubuh beberapa makhluk sejumlah organ yang tidak berfungsi. Ini diwariskan dari nenek moyang dan secara perlahan menjadi ‘peninggalan’ karena tidak dipakai.

Keseluruhan anggapan itu sangat tidak ilmiah, dan sepenuhnya berdasarkan pada kurangnya pengetahuan. Organ ‘peninggalan’ ini pada kenyataannya adalah organ yang fungsinya belum diketahui.

Petunjuk yang paling baik dari hal ini adalah penurunan sedikit demi sedikit tapi pasti jumlah ‘organ peninggalan’ dari daftar panjang para evolusionis.

‘DNA Sampah’ adalah versi moderen dari anggapan lama tentang ‘organ peninggalan’. Dan ini pun bercacat seperti anggapan tersebut.

Yang benar adalah tidak ada ‘organ peninggalan’ ataupun ‘DNA Sampah’ di dalam tubuh manusia karena manusia tidak berevolusi dari makhluk lain buah dari suatu kebetulan, tetapi diciptakan dalam bentuknya yang sempurna dan komplit sebagaimana sekarang.



(1) http://www.sciencedaily.com/releases/2002/08/020830072103.htm